TEOLOGI JABBARIYAH DAN
QADARIYAH
MATA KULIAH TEOLOGI
ISLAM
Dosen: Erik Sabti Rahmawati, M.A.,
M.Ag
KELOMPOK IV
Lasnah Lafifah 11220069
Riqqa Soviana 11220068
Aditya Sukma 11220058
Imam Taufik 11220051
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
KELAS HBS B
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA
MALIK IBRAHIM
MALANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Tuhan adalah
pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Selanjutnya Tuhan
bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Disinilah
timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung
pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia
terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
Dalam menanggapi
pertanyaan-pertanyaan seperti ini kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia
mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya.
Menurut paham qadariyah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan.
Kaum Jabariyah
berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
kehendakdan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak
Tuhan. Jadi nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Masyarakat Arab
sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham jabariyah ini. Bangsa Arab,
yang pada waktu itu bersifat serbba sederhana dan jauh dari pengetahuan,
terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya
yang terik serta tanah dan gunungnya yang gundul. Dalam dunia yang demikian,
mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka
sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
B. TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk
mengetahui tentang ajaran atau paham yang dianut oleh kaum Jabariyah dan
Qadriyah.
2. Untuk
mengetahui pelopor atau pembawa paham Jabariyah dan Qadariyah.
3. Mengetahui
inti-inti pemikiran dari kedua paham tersebut.
4. Mengetahui
paham Jabariyah dan Qadariyah itu sendiri.
5. Mengetahui
asal-usul kemunculan kedua paham tersebut.
6. Dan
hakikat dari kedua paham tersebut.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Dalam
makalah ini, kami mencoba untuk menguraikan labih lanjut tentang teologi
jabbariyah dan qadariyah, semata-mata supaya kedua aliran yang menimbulkan
banyak kecaman dari para ulama tersebut dapat diketahui lebih dalam lagi. Dan di
antara beberapa point yang akan kami urai dalam makalah ini, yakni:
1.
Siapakah
kelompok Jabbariyah dan Qadariyah itu?
2.
Bagaimanakah
hakikat paham Jabbariyah dan Qadariyah?
3.
Bagaimanakah
asal-usul pertumbuhan Jabbariyah dan Qadariyah?
BAB III
PEMBAHASAN
A. KELOMPOK
JABBARIYAH DAN QADARIYAH
1. JABBARIYAH
·
Makna Asal
Jabbariyah
Kata Jabariyah
berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid dijelaskan
bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah
menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada
Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan
terpaksa (majbur). Artinya, manusia tidak memiliki andil dalam melakukan
perbuatannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Menurut Harun
Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia
telah ditentukan dari semula oleh Qadha’ dan Qadar Allah. Maksudnya adalah
bahwa setiap pekerjaan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak
manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, disini manusia
tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada
yang mengistilahkan bahwa adalah aliran manusia mennjadi wayang dan Tuhan
sebagai dalangnya.(1)
·
Pelopor Paham
Jabbariyah
Paham al-jabar
pertama kali diperkenalkan oleh ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm
bin Shafwan dari Kurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai
tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam karangan Murji’ah. Ia adalah
sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan
kekuasaan Bani Umayyah. Namun, dalam perkembangannya, paham al-jabar juga
dikembangkan oleh [1]tokoh
lainnya di antaranya Al-Husainbin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Menurut
Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
Jabariyah Khalishah (ekstrim) dan Jabariyah Mutawashshitah (moderat). Di antara
doktrin Jabariyah Khalishah adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia
bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan
mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha’
dan qaddar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka Jabariyah Khalishah
(ekstrim) adalah berikut ini:
a.
Jahm bin shofwan
Nama lengkapnya
adalah abu Mahrus Jaham bin shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat
tinggal di khufah, iaseorang da’I yang fasih dan lincah, ia menjabat sebagai
sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani
Umayyah di khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada
kaitannya dengan agama.
Sebagai seorang
penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang
tersebar keberbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapat Jahm yang
berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1.
Manusia tidak
mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2.
Surga dan Neraka
tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3.
Iman adalah
ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
4.
Kalam Tuhan
adalah makhluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat
dengan indera mata di akhirat.
b. Ja’d
bin Dirham
Al-Ja’d
seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam
lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semuala ia dipercaya
untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayyah, tetapi setelah tampak
pikiran-pikirannya yang controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian
Al-Ja’d lari ke Khufah dan disana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer
pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin
pokok Ja’d secara umum sama dengan pemikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya
sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an itu
adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak bisa
disifatkan kepada Allah.
2.
Allah tidak
mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan
mendengar.
3.
Manusia terpaksa
oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah Khalishah, Jabariyah
Mutawashshitah (moderat) mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan
manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai
bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasb (usaha).
Menurut paham Kasb, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti
wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan,
tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Yang termasuk tokoh
Jabariyah Mutawashshitah (moderat) adalah berikut:
a. An-Najjar
Nama lengkapnya
aadalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). para pengikutnya disebut
An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah:
1. Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasb dalam
teori Al-Asy’ary. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi
seperti wayang yang gerakannya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang
diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
2. Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat
melihat Tuhan.
b. Adh-Dhirar
Nama lengkapnya
adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husain
An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang dierakan
dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak
semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar
mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara
bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbilkan oleh Tuhan, tetapi
oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat
Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat
melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima
setelah Nabi adalah ijtihad.(2)
2. QADARIYAH
·
Makna Asal Qadariyah
Dalam
pengertian bahasa, Qadariyah berasal dari kata Bahasa Arab "qadara"
yang mempunyai beberapa arti, yaitu kuasa atau mampu, memuliakan atau mulia,
ketentuan atau ukuran dan menyempitkan. Lafadz qadara yang memiliki arti
kuasa atau mampu sebagaimana disebutkan dalam ayat 264 surat al-Baqarah:[2]
“Maka perumpamaan orang itu seperti
batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat,
lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun
dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir”.
Menurut
istilah, Qadariyah adalah kelompok yang menolak qadar (ketetapan Tuhan), dengan
kata lain kelompok yang tidak percaya adanya ketetapan Tuhan terhadap segala
urusan/perkara. Tegasnya, mereka menolak kepercayaan bahwa Allah swt telah
menetapkan segala urusan sebelum diciptakan.
Dalam ”Tarikhu
al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam”, dikemukakan senada dengan ungkapan di
atas bahwa aliran Qadariyah adalah golongan yang berpegang pada kebebasan
manusia memilih dalam tindakannya dan merdeka dalam berkehendak. Pemberian nama
Qadariyah bagi golongan ini, menarik dikaji. Menyebut mereka dengan julukan
Qadariyah, ternyata pengikut qadariyah sendiri tidak setuju dengan nama itu.
Sebagian tokoh ilmu Kalam mereka berkata; Gelar qadariyah tidak pantas bagi
kami, karena kami menolak adanya qadar. Justru kelompok yang percaya dan
menetapkan adanya qadarlah yang paling berhak memakai nama itu. Maksud mereka,
golongan Jabariyahlah, yang percaya penuh pada qadar Allah swt berhak
menyandang nama itu.
Mengapa
mereka dijuluki aliran Qadariyah?. Sebagian besar berpendapat asal-usul nama
Qadariyah menjadi nama bagi golongan ini, karena mereka menolak adanya qadar
Tuhan dan menetapkan qadar/kemampuan bagi mereka. Sebagian lain berkata, tidak
ada larangan menamai sesuatu dengan menggunakan nama yang bertentangan dengan
isi nama itu sendiri.
·
Pelopor Paham
Qadariyah
Paham Qadariyah
dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani, ia adalah murid dari Sansawiyah al-Baqqal,
atau sausan (panggilannya) yang mana sausan ialah seorang nasrani yang masuk
Islam lalu kembali menjadi nasrani, dan sausan adalah orang pertama yang
membahas tentang takdir dengan persepsi negatif dan mengingkarinya.
Al-Auza’I
berkata, ”orang yang pertama kali membahas takdir adalah seorang lelaki Irak
bernama Sausan. Ia seorang Nasrani yang masuk Islam, kemudian kembali menjadi
Nasrani. Dari dialah Ma’bad Al-Juhani belajar, kemudian Ghailan Ad-Dimasyqi
belajar darinya (yakni dari Ma’bad).”
Jadi, Sansawiyah
atau Sausan adalah orang yang mengajari Ma’bad Al-Juhani. Dan, yang masyhur
menurut para ulama adalah bahwa Ma’bad Al-Juhani merupakan pelopor paham
Qadariyah.
B. HAKIKAT
PAHAM JABBARIYAH DAN QADARIYAH
1. JABBARIYAH
·
Ajaran-ajaran
Jabbariyah
Paham ini menisbatkan
keburukan dan kekufuran kepada Allah SWT, juga menganggap semua kejahatan yang
ada di ala mini merupakan perbuattan Allah SWT yang merupakan
karakteristik-Nya, bukan sebagai objek yang Dia timpakan kepada makhluk-Nya.
(Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakana). Dengan demikian, mereka
mengingkari perbuatan manusia dan kehendaknya.
Karena itulah
mereka termasuk orang-orang yang paling banyak berdalih dengan takdir dari
mereka sendiri. Hal ini dikarenakan mereka adalah orang-orang yang menganggap
bahwa manusia tidak memiliki andil untuk melakukan perbuatannya, melainkan
Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
·
Inti Pemikiran
Paham Jabbariyah
1. Menisbatkan
keburukan pada Allah & menjadikannya salah satu sifat-Nya.
2. Menafikan
kaidah pahala dan siksa.
3. Menyamakan
2 hal yang saling bertentangan dan menganggapnya sebagai perbuatan yang
diridhoi.
4. Menganggap
bahwa manusia dibebani sesuatu di luar kesanggupan mereka & perintah Allah
hanya murni kehendak, tidak ada hikmah & rahmat-Nya.(3)
2. QADARIYAH
·
Ajaran-ajaran
Qadariyah
Harun Nasution
menjelaskan pendapat Ghailan tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan, baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Dengan demikian
bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri,
baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Maka, dalam paham qadariyah manusia
dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qada atau
qadar Tuhan.
·
Inti Pemikiran
Qadariyah
Inti pemikiran
Qadariyah, menurut beberapa sumber, di antaranya:
a. Manusia
hidup mempunyai daya, selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas
segala perbuatannya.
b. Menetapkan
takdir pada manusia dan menganggap bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya.
Sedangkan Tuhan hanya menciptakan tubuh manusia tanpa menciptakan perbuatan
c. Mengingkari
adanya perbuatan Allah, sifat-sifat, dan asma-asma-Nya dari hakikat tetapnya,
juga mengingkari pengaruh dan penisbatannya kepada makhluk.
C. ASAL-USUL
PERTUMBUHAN JABBARIYAH DAN QADARIYAH
1. JABBARIYAH
·
Latar Belakang
Paham Jabbariyah
Adapun
mengenai latar belakang lahirnya Jabariyah tidak adanya penjelasan yang sarih.
Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani
Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan
manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak (Tuhan). Pendapat yang lain
mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam dating
ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara
telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Ditengah bumi yang
disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang sangat
panas ternyata tidak dapat memberikan
kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh
hanya rumput yang kering dan beberapa pohon yang kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara. Dan
dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah
keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka
merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
tergantung dengan alam, sehingga menyebabkan mereka kepada paham fatalisme.
Dalam
Al-Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat yang menunjukkan latar belakang
lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
QS al-Insan : 30
Artinya: “Dan kamu tidak mampu
(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Selain
ayat-ayat Al-Qur’an diatas, benih-benih faham al-jabar juga dapat dilihat dalam
beberapa peristiwa sejarah :
Suatu ketika Nabi menjumpai
sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang
mereka untuk memperdebatkan persoalan terssebut, agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan tentang Takdir.
Di
samping adanya bibit pengaruh paham jabar yang telah muncul dari pemahaman
terhadap ajaran Islam itu sendiri, ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran
jabar muncul karena adanya pengaruh dari pemikiran asing, yaitu pengaruh agama
Yahudibermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.
Dengan
demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua
factor, yaitu : Pertama, factor internal (pemahaman ajaran-ajaran Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah), dan kedua, factor eksternal
(pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini). Adapun
yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah reaksi dari tiga perkara: pertama,
adanyapaham Qadariyah, kedua, terlalu tekstualnya pemahaman agama tanpa
adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam
menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.
·
Perkembangan
Pendapat Jabbariyah
Paham Jabbariyah
yang mulanya menganggap perbuatan maksiat sebagai ketaatan menjadi lebih nyeleneh
dengan bersikap pesimis dan melakukan keburukan.
2. QADARIYAH
·
Latar Belakang
Paham Qadariyah
Ibnu
Taimiyah mengemukakan sejarah timbul paham ini, Qadariyah muncul sebelum paham
Jabariyah. Paham Qadariyah muncul pada periode terakhir sahabat, yaitu ketika
timbul perdebatan tentang qadar/ketetapan Tuhan.
Menurut
Ibnu Nabatah, seorang ahli penulis kitab ”Syahral ‘uyun” mengatakan
bahwa orang yang mula-mula mengembangkan paham Qadariyah adalah seorang
penduduk Irak. Pada mulanya, ia seorang Nasrani kemudian masuk Islam dan
akhirnya menjadi Nasrani lagi. Dari orang inilah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan
al-Dimasyqiy mengambil paham Qadariyah. Dapat dipahami bahwa pengaruh keyakinan
masehi-an mempengaruhi munculnya aliran ini karena pada masa itu, kaum muslimin
bersentuhan langsung dengan dengan penganut Agama Yahudi dan Nasrani.
Namun, Abu Zahrah lebih cenderung
tidak merinci dan tidak memastikan asal, timbul dan berkembangnya paham
Qadariyah. Abu Zahrah berkata; Para ahli sejarah pemikiran Islam mencoba
meneliti dan mengkaji lebih jauh mengenai siapakah sebenarnya yang pertama kali
mengajarkan paham ini, di daerah mana timbul dan berkembang. Pendapat kami,
pemikiran yang dikemukakan dalam hal kelompok dan berkembangnya paham Qadariyah
sangat sulit memastikan secara meyakinkan. Hanya saja pedoman umum yang dapat
dijadikan pegangan adalah bahwa Basrah dan Iraklah tempat timbulnya dan
berkembangnya paham Qadariyah.
BAB IV
KESIMPULAN
Pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah
menyatakan bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak, dan mereka
akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang menjadi keputusan mereka,
meskipun pada dasarnya merupakan takdir yang telah ditentukan. Dengan kata
lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan
Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak
akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah
Allah SWT.
Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah dan Qodariyah
di atas, yang paling penting yang harus kita pahami adalah, bahwa mereka (Jabariyah
dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat
yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan
menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan
kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak
mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasa akan berbahaya, mereka pun
tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat.
Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah
nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka
sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya
kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.
Demikian makalah dari kami yang berjudul “Teologi Jabbariyah
dan Qodariyah”, semoga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya,
tidak terlepas kritik dan saran yang sangat kami harapkan demi perbaikan di
masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdurrahman Ali bin As-Sayyid Al-Wahifi, Qadha
dan Qadar dalam Pandangan Ulama Salaf, 2005, Pustaka Azzam: Jakarta.
Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, 2001, Pustaka
Setia: Bandung.
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan
Tasawwuf, 1995, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Nasution, Harun, Teologi Islam, 1996, UI
Press: Jakarta.
Sarkowi, Teologi Islam Klasik, 2010, Penerbit
Resist Literacy: Malang.
[3]
Ali Abdurrahman Abu, Qadha’ dan Qadar Dalam Pandangan Ulama’ Salaf, Pustaka
Azzam, Jakarta, 2005, hlm 168-169