MATA KULIAH FIQH
MU’AMALAH
PRODUK-PRODUK PENGHIMPUN DANA PADA
BANK SYARIAH
(GIRO SYARIAH DAN TABUNGAN SYARIAH)
Dosen Pengampu: H. Abbas Arfan,
Lc., M. H.
RIQQA SOVIANA
NIM: 11220068
SEMESTER III
INTERNATIONAL CLASS PROGRAM (ICP)
HUKUM BISNIS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Bank merupakan lembaga keuangan yang dibangun atas dasar
kepercayaan. Bank pun dalam pendanaan operasionalnya sebagian besar berasal
dari masyarakat. Dana-dana yang dihimpun dari masyarakat ternyata menjadi
sumber dana terbesar yang dijadikan andalan oleh bank tersebut. Pencapaiannya
mencapai 80-90% dari seluruh dana yang dikelola bank. Setiap lapisan masyarakat
yang menyimpan uangnya harus benar-benar yakin akan keamanan uang yang
diamanahkannya kepada bank-bank tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.
Dalam menghimpun dana, bank menyediakan beberapa
produk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman yang semakin
canggih ]dengan adanya teknologi modern sekaligus persaiangan di dunia global. Selain
itu, produk-produk tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan penyimpanan kekayaan, sehingga dibutuhkanlah jasa perbankan
untuk memenuhinya. Seperti produk-produk penghimpun dananya, yakni: giro,
tabungan, dan deposito. Namun, dalam prakteknya ternyata tidak semuanya dapat
dibenarkan oleh hukum Islam, oleh karenanya perlu dipahami lagi secara lebih
mendalam supaya tidak melanggar hukum Islam yang telah ditetapkan demi
kemashlahatan umat manusia. Dari ketiga produk penghimpun dana yang disediakan
oleh bank, dalam makalah ini, penulis akan menerangkan lebih jauh lagi tentang
giro dan tabungan yang berbasis syari’ah, yang kemudian penulis harap dari
diselesaikannya makalah ini, semoga dapat bermanfaat dengan sebesar-besarnya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dalam
makalah ini, penulis akan membahas beberapa point sebagai berikut:
1.
Apa itu giro syari’ah
dan tabungan syari’ah?
2.
Apa saja sarana
penarikan giro syari’ah dan tabungan syari’ah?
3.
Bagaimana
karakteristik giro syari’ah dan tabungan syari’ah?
C.
TUJUAN
Dengan
disusunnya makalah ini, ada beberapa target yang ingin penulis capai berkenaan
dengan selesainya makalah ini, yakni:
1. Untuk
mengetahui apa itu giro syari’ah, sarana penarikannya dan karakteristiknya.
2. Untuk
mengetahui apa itu tabungan syari’ah, sarana penarikannya dan karakteristiknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
GIRO
SYARI’AH
1.
Pengertian
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, dan sarana perintah
pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.[1]
Nasabah yang memiliki simpanan giro akan memperoleh nomor rekening.[2]
Jadi, giro merupakan dana yang disimpan di bank pada rekening giro sebagai
titipan yang dapat diambil sewaktu-waktu.
Pemilik simpanan giro dapat menarik dananya kapan
saja saat diperlukan asalkan saldonya cukup, baik untuk pembayaran maupun
lainnya. Pemilik simpanan giro dapat menarik dananya melalui bank lain, baik
bank syari’ah maupun bank konvensional. Penarikan simpanan giro yang dilakukan
melalui bank lain, disebut dengan kliring. Bank yang menerima setoran
cek dan/atau bilyet giro bank lain akan menagihkan kepada bank yang menerbitkan
cek dan/atau bilyet giro tersebut. Penagihannya dilakukan melalui lembaga
kliring setempat, yaitu Bank Indonesia atau bank yang ditunjuk sebagai lembaga
kliring oleh Bank Indonesia.
Adapun
yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional
telah mengeluarkan fatwa Nomor 01/DSN-MUI/VI/2000 yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan syariah adalah
giro berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Simpanan giro sebenarnya bukan merupakan suatu
simpanan untuk mendapatkan hasil bunga, melainkan semata-mata dimanfaatkan
sebagai sarana memperlancar transaksi bisnis. Oleh karena itu, pada umumnya
pemilik rekening giro adalah pengusaha atau pemilik kegiatan yang membutuhkan
alat pembayaran berbentuk cek.
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) ditetapkan
ketentuan tentang giro wadi’ah, diantaranya:
1. Bersifat
titipan.
Dalam
hal titipan, maka orang yang dititipi berkewajiban untuk memelihara dan menjaga
barang titipan tersebut. Ia tidak dibenarkan menggunakan dana yang dititipkan,
kecuali atas izin pemiliknya.
2. Titipan
bisa diambil kapan saja.
Hal
ini disebabkan sifatnya titipan, maka pemilik dana dapat menarik dananya
sewaktu-waktu dan pihak yang dititipi harus selalu siap mengembalikan dana yang
dititipkan.
3. Tidak
ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
Sebab
bersifat titipan pula, maka tidak ada kewajiban bagi pihak yang menitipkan
(nasabah) untuk memberikan imbalan apapun kepada bank, dan bank tidak
berkewajiban memberikan imbalan apapun kepada nasabah sekalipun dananya sudah
dikelola secara komersial. Namun pihak bank boleh memberikan athaya (bonus)
kepada nasabah dengan catatan tidak diperjanjikan di depan atau dituangkan
dalam akad. Jadi, athaya ini murni adalah hak bank, maka nasabah tidak dapat
menuntut untuk diberikan.[3]
2.
Sarana
Penarikan
a. Cek (cheque)
Penarikan
rekening giro dengan menggunakan cek, artinya penarikan dana secara tunai, oleh
karena itu cek juga berfungsi sebagai alat pembayaran. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178 menjelaskan tentang cek sebagai
berikut:
· Pada
cek harus tertulis kata “CEK”.
· Berisi
perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
· Nama
bank tertarik (bank yang harus membayar).
· Disebutkan
tanggal dan tempat cek dikeluarkan.
· Tanda
tangan penarik.[4]
Jenis-jenis
cek ada 5 jenis, diantaranya:
1.
Cek Atas Nama
Merupakan cek yang diterbitkan atas
nama seseorang atau badan hukum tertentu yang tertulis jelas di dalam cek
tersebut. Sebagai contoh jika didalam cek tertulis perintah bayarlah kepada :
Tn. Roy Akase sejumlah Rp 3.000.000,- atau bayarlah kepada PT. Marindo uang
sejumlah Rp 1.000.000,- maka cek inilah yang disebut dengan cek atas nama,
namun dengan catatan kata "atau pembawa" dibelakang nama yang diperintahkan
dicoret.
2.
Cek Atas Unjuk
Cek atas unjuk merupakan kebalikan
dari cek atas nama. Di dalam cek atas unjuk tidak tertulis nama seseorang atau
badan hukum tertentu jadi siapa saja dapat menguangkan cek atau dengan kata
lain cek dapat diuangkan oleh si pembawa cek. Sebagai contoh di dalam cek
tersebut tertulis bayarlah tunai, atau cash atau tidak ditulis kata-kata apa
pun.
3.
Cek Silang
Cek Silang atau cross cheque
merupakan cek yang dipojok kiri atas diberi dua tanda silang. Cek ini sengaja
diberi silang, sehingga fungsi cek yang semula tunai berubah menjadi non tunai
atau sebagai pemindahbukuan.
4.
Cek Mundur
Merupakan cek yang diberi tanggal
mundur dari tanggal sekarang, misalnya hari ini tanggal 01 Mei 2002. Sebagai
contoh. Tn. Roy Akase bermaksud mencairkan selembar cek dan di mana dalam cek
tersebut tertulis tanggal 5 Mei 2002. jenis cek inilah yang disebut dengan cek
mundur atau cek yang belum jatuh tempo, hal ini biasanya terjadi karena ada
kesepakatan antara si pemberi cek dengan si penerima cek, misalnya karena belum
memiliki dana pada saat itu.
5.
Cek Kosong
Cek kosong atau blank cheque
merupakan cek yang dananya tidak tersedia di dalam rekening giro. Sebagai
contoh nasabah Tn. Rahman Hakim menarik cek senilai 60 juta rupiah yang
tertulis di dalam cek tersebut, akan tetapi dana yang tersedia di rekening giro
tersebut hanya ada 50 juta rupiah. Ini berarti kekurangan dana sebesar 10 juta
rupiah, apabila nasabah menariknya. Jadi jelas cek tersebut kurang jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah dana yang ada.
b. Bilyet Giro
Bilyet
giro digunakan oleh pemilik rekening giro apabila akan melakukan penarikan
secara non tunai atau pemindahbukuan. Syarat-syarat dan tata cara penggunaan
bilyet giro dalam kegiatan bank syari’ah diatur oleh Bank Indonesia, di
antaranya surat edaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia SE BI No. 4/670
UPPB/PbB Tanggal 24 Januari 1972 yang disempurnakan dengan SE BI No. 28/32/UPG
Tanggal 01 Juli 1995.[5]
c. Perbedaan Cek dan Bilyet Giro
Cek
|
Bilyet Giro
|
Diterbitkan
atas unjuk
|
Diterbitkan
atas nama
|
Surat
perintah pembayaran
|
Surat
perintah pemindahbukuan
|
Tidak
berlaku tanggal efektif
|
Berlaku
tanggal efektif
|
Di
dalam bilyet giro, terdapat masa kadaluarsa, yaitu 70 hari setelah tanggal
penerbitannya. Sedangkan dalam bilyet giro, terdapat tanggal penerbitan dan
tanggal efektif. Tanggal efektif merupakan tanggal yang ditetapkan bahwa bilyet
giro mulai efektif dan dapat dipindahbukukan. Bila pemindahbukuan dilakukan
sebelum tanggal efektif, maka bank menolak permohonan pemindahbukuan.
3.
Karakteristik
Di bawah ini adalah beberapa karakteristik dari giro
wadi’ah, antara lain sebagai berikut:
1. Harus
dikembalikan utuh seperti semula sejumlah barang yang dititipkan sehingga tidak
boleh overdraft (cerukan).
2. Dapat
dikenakan biaya titipan.
3. Dapat
diberikan syarat tertentu untuk keselamatan barang.
4. Penarikan
giro wadiah dilakukan dengan cek dan bilyet giro sesuai ketentuan yang berlaku.
5. Jenis
dan kelompok rekening sesuai ketentuan yang berlaku dalam kegiatan usaha bank
sepanjang tidak bertentangan dengan dengan syariah.
6. Dana
wadi’ah hanya dapat digunakan seizin penitip.[6]
Selanjutnya adalah giro mudharabah, yakni giro yang
berdasarkan prinsip mudharabah, diantara beberapa ketentuannya adalah:
1. Dalam
transaksinya nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau sebagai pengelola dana.
2. Dalam
kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di
dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal
harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4. Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
5. Bank
sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank
tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.[7]
B.
TABUNGAN
SYARI’AH
1. Pengertian
Tabungan adalah simpanan dana yang penarikannya
hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati,
tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.[8]
Para ahli perbankan tempo dulu memberikan pengertian
tabungan merupakan simpanan sementara, maksudnya simpanan untuk menunggu apakah
investasi (antara lain dalam bentuk deposito), untuk keperluan sehari-hari atau
konsumsi yang dapat ditarik sewaktu-waktu dalam bentuk giro.[9]
Bank syari’ah menerapkan dua akad dalam tabungan,
yaitu wadhi’ah dan mudharabah.[10]
2. Sarana Penarikan
a. Buku Tabungan
Buku
tabungan merupakan salah satu bukti bahwa nasabah tersebut adalah nasabah
penabung di bank syari’ah. setiap nasabah tabungan akan diberikan buku
tabungan, yaitu merupakan buku yang menggambarkan mutasi setoran, penarikan,
dan saldo atas setiap transaksi yang terjadi.
b. Slip Penarikan
Slip
penarikan merupakan formulir yang disediakan oleh bank syari’ah untuk
kepentingan nasabah yang ingin melakukan penarikan tabungan melalui kantor bank
syari’ah yang menerbitkan tabungan. Di dalam slip penarikan, nasabah perlu
mengisi nama pemilik rekening, nomor rekening, serta jumlah penarikan, baik
angka maupun huruf, kemudian menandatangani slip penarikan. Setelah menyerahkan
slip penarikan dan menyerahkan buku tabungan, maka bank syari’ah akan
membayarnya sebesar jumlah yang tertera dalam slip tersebut yang telah
ditandatangani oleh nasabah dan diserahkan kepada teller.
c. ATM
ATM
merupakan kepanjangan dari Automated Teller Machine atau dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan sebutan Anjungan Tunai Mandiri adalah sebuah alat elektronik
yang mengizinkan nasabah bank untuk mengambil uang dan mengecek rekening
tabungan nasabah tanpa perlu dilayani oleh seorang “teller” manusia. ATM sering
ditempatkan di lokasi-lokasi strategis, seperti restoran, pusat perbelanjaan,
bandar udara, pasar, dan kantor-kantor bank itu sendiri.
d. Formulir Transfer
Formulir
transfer merupakan sarana lain yang disediakan bank syari’ah selain
sarana-sarana sebelumnya, yakni sarana pemindahbukuan yang disediakan untuk
nasabah dalam melakukan transfer. Fasilitas ini diberikan oleh bank syari’ah
kepada nasabah yang telah dikenal memiliki loyalitas yang tinggi kepada bank
syari’ah.
- Karakteristik
Karakteristik Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah,
yaitu:
·
Dalam transaksi
ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
·
Dalam
kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya
mudharabah dengan pihak lain.
·
Modal harus
dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
·
Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
·
Bank sebagai
mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
·
Bank tidak
diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
Sedangkan karakteristik Umum Tabungan berdasarkan
Wadi’ah:
1. Bersifat
titipan.
Dalam
hal titipan, maka orang yang dititipi berkewajiban untuk memelihara dan menjaga
barang titipan tersebut. Ia tidak dibenarkan menggunakan dana yang dititipkan,
kecuali atas izin pemiliknya.
2. Titipan
bisa diambil kapan saja.
Hal
ini disebabkan sifatnya titipan, maka pemilik dana dapat menarik dananya
sewaktu-waktu dan pihak yang dititipi harus selalu siap mengembalikan dana yang
dititipkan.
3. Tidak
ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
Sebab
bersifat titipan pula, maka tidak ada kewajiban bagi pihak yang menitipkan
(nasabah) untuk memberikan imbalan apapun kepada bank, dan bank tidak
berkewajiban memberikan imbalan apapun kepada nasabah sekalipun dananya sudah
dikelola secara komersial. Namun pihak bank boleh memberikan athaya (bonus)
kepada nasabah dengan catatan tidak diperjanjikan di depan atau dituangkan
dalam akad. Jadi, athaya ini murni adalah hak bank, maka nasabah tidak dapat
menuntut untuk diberikan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Giro dan tabungan syari’ah merupakan produk yang
disediakan oleh bank syari’ah sebagai jasa untuk memenuhi kebutuhan khalayak
yang juga merupakan tuntutan zaman globalisasi yang semakin mempermudah
tercapainya kebutuhan manusia yang tak kenal cukup. Ada dua macam akad yang
dapat dilakukan pada kedua produk tersebut, yaitu akad wadi’ah dan mudharabah. Kedua
produk tersebut memiliki fungsi dan tujuan yang sama-sama menguntungkan antara
kedua belah pihak, baik nasabah atau shahibul maal maupun pengelolanya atau
disebut juga bank.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M.
S. (2001). Bank Syari'ah, Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Drs. H.
Karnaen Perwataatmadja, M., & H. Muhammad Syafi'i Antonio, M. (1992). Apa
dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Drs.
Ismail, M. A. (2011). Perbankan Syari'ah. Jakarta: Kencana.
Rachmadi
Usman, S. M. (2009). Produk dan Akad Perbankan Syari'ah, Implementasi da
Aspek Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sudarsono,
H. (2007). Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah. Yogyakarta: Ekonisia.
Wiroso, S.
M. (2005). Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari'ah.
Jakarta: PT. Grasindo.
[1]
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, Pasal 1 ayat 6.
[2]
Drs.Ismail, MBA., Ak. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana.
[3]
Himpunan Fatwa, Edisi Kedua.
[4]
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178.
[5]
Drs.Ismail, MBA., Ak. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana.
[6]
Wiroso, S.E., M.B.A. Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank
Syariah,.
[7]
Himpunan Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional MUI, 2006: 5
[8]
Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 02/DSN-MUI/IV/2000.
[9]Wiroso,
S.E., M.B.A. Penghimpunan Dana dan
Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah,
[10]
Hasan Abdullah Al-Amin, Al-Mudharabah asy-Syar’iyah wa athbiquha
al-Haditsah, (Jeddah: IRTI, IDB, 1988).