Rabu, 04 April 2012

Tugas Makalah Teologi Islam


TEOLOGI JABBARIYAH DAN QADARIYAH
MATA KULIAH TEOLOGI ISLAM
Dosen: Erik Sabti Rahmawati, M.A., M.Ag



index.jpg











KELOMPOK IV
Lasnah Lafifah            11220069
Riqqa Soviana             11220068
Aditya Sukma             11220058
Imam Taufik               11220051



JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
KELAS HBS B
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Disinilah timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham qadariyah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan.
Kaum Jabariyah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendakdan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham jabariyah ini. Bangsa Arab, yang pada waktu itu bersifat serbba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanah dan gunungnya yang gundul. Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri.




B.     TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui tentang ajaran atau paham yang dianut oleh kaum Jabariyah dan Qadriyah.
2.      Untuk mengetahui pelopor atau pembawa paham Jabariyah dan Qadariyah.
3.      Mengetahui inti-inti pemikiran dari kedua paham tersebut.
4.      Mengetahui paham Jabariyah dan Qadariyah itu sendiri.
5.      Mengetahui asal-usul kemunculan kedua paham tersebut.
6.      Dan hakikat dari kedua paham tersebut.
























BAB II
RUMUSAN MASALAH

            Dalam makalah ini, kami mencoba untuk menguraikan labih lanjut tentang teologi jabbariyah dan qadariyah, semata-mata supaya kedua aliran yang menimbulkan banyak kecaman dari para ulama tersebut dapat diketahui lebih dalam lagi. Dan di antara beberapa point yang akan kami urai dalam makalah ini, yakni:
1.                  Siapakah kelompok Jabbariyah dan Qadariyah itu?
2.                  Bagaimanakah hakikat paham Jabbariyah dan Qadariyah?
3.                  Bagaimanakah asal-usul pertumbuhan Jabbariyah dan Qadariyah?






















BAB III
PEMBAHASAN

A.      KELOMPOK JABBARIYAH DAN QADARIYAH
1.      JABBARIYAH
·         Makna Asal Jabbariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Artinya, manusia tidak memiliki andil dalam melakukan perbuatannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha’ dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap pekerjaan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, disini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa adalah aliran manusia mennjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.(1)

·         Pelopor Paham Jabbariyah
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Kurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam karangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Namun, dalam perkembangannya, paham al-jabar juga dikembangkan oleh [1]tokoh lainnya di antaranya Al-Husainbin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Jabariyah Khalishah (ekstrim) dan Jabariyah Mutawashshitah (moderat). Di antara doktrin Jabariyah Khalishah adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha’ dan qaddar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka Jabariyah Khalishah (ekstrim) adalah berikut ini:
a.         Jahm bin shofwan
Nama lengkapnya adalah abu Mahrus Jaham bin shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di khufah, iaseorang da’I yang fasih dan lincah, ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.
Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar keberbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1.        Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2.        Surga dan Neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3.        Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
4.        Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat.

b.      Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semuala ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayyah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Khufah dan disana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pemikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
1.        Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak bisa disifatkan kepada Allah.
2.        Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
3.        Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

Berbeda dengan Jabariyah Khalishah, Jabariyah Mutawashshitah (moderat) mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasb (usaha). Menurut paham Kasb, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Yang termasuk tokoh Jabariyah Mutawashshitah (moderat) adalah berikut:
a.     An-Najjar
Nama lengkapnya aadalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah:
1.   Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasb dalam teori Al-Asy’ary. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2.   Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

b.    Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husain An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang dierakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbilkan oleh Tuhan, tetapi oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad.(2)

2.      QADARIYAH
·         Makna Asal Qadariyah
Dalam pengertian bahasa, Qadariyah berasal dari kata Bahasa Arab "qadara" yang mempunyai beberapa arti, yaitu kuasa atau mampu, memuliakan atau mulia, ketentuan atau ukuran dan menyempitkan. Lafadz qadara yang memiliki arti kuasa atau mampu sebagaimana disebutkan dalam ayat 264 surat al-Baqarah:[2]

“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

Menurut istilah, Qadariyah adalah kelompok yang menolak qadar (ketetapan Tuhan), dengan kata lain kelompok yang tidak percaya adanya ketetapan Tuhan terhadap segala urusan/perkara. Tegasnya, mereka menolak kepercayaan bahwa Allah swt telah menetapkan segala urusan sebelum diciptakan.
Dalam ”Tarikhu al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam”, dikemukakan senada dengan ungkapan di atas bahwa aliran Qadariyah adalah golongan yang berpegang pada kebebasan manusia memilih dalam tindakannya dan merdeka dalam berkehendak. Pemberian nama Qadariyah bagi golongan ini, menarik dikaji. Menyebut mereka dengan julukan Qadariyah, ternyata pengikut qadariyah sendiri tidak setuju dengan nama itu. Sebagian tokoh ilmu Kalam mereka berkata; Gelar qadariyah tidak pantas bagi kami, karena kami menolak adanya qadar. Justru kelompok yang percaya dan menetapkan adanya qadarlah yang paling berhak memakai nama itu. Maksud mereka, golongan Jabariyahlah, yang percaya penuh pada qadar Allah swt berhak menyandang nama itu.
Mengapa mereka dijuluki aliran Qadariyah?. Sebagian besar berpendapat asal-usul nama Qadariyah menjadi nama bagi golongan ini, karena mereka menolak adanya qadar Tuhan dan menetapkan qadar/kemampuan bagi mereka. Sebagian lain berkata, tidak ada larangan menamai sesuatu dengan menggunakan nama yang bertentangan dengan isi nama itu sendiri.

·         Pelopor Paham Qadariyah
Paham Qadariyah dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani, ia adalah murid dari Sansawiyah al-Baqqal, atau sausan (panggilannya) yang mana sausan ialah seorang nasrani yang masuk Islam lalu kembali menjadi nasrani, dan sausan adalah orang pertama yang membahas tentang takdir dengan persepsi negatif dan mengingkarinya.
Al-Auza’I berkata, ”orang yang pertama kali membahas takdir adalah seorang lelaki Irak bernama Sausan. Ia seorang Nasrani yang masuk Islam, kemudian kembali menjadi Nasrani. Dari dialah Ma’bad Al-Juhani belajar, kemudian Ghailan Ad-Dimasyqi belajar darinya (yakni dari Ma’bad).”
     Jadi, Sansawiyah atau Sausan adalah orang yang mengajari Ma’bad Al-Juhani. Dan, yang masyhur menurut para ulama adalah bahwa Ma’bad Al-Juhani merupakan pelopor paham Qadariyah.

B.       HAKIKAT PAHAM JABBARIYAH DAN QADARIYAH
1.      JABBARIYAH
·         Ajaran-ajaran Jabbariyah
Paham ini menisbatkan keburukan dan kekufuran kepada Allah SWT, juga menganggap semua kejahatan yang ada di ala mini merupakan perbuattan Allah SWT yang merupakan karakteristik-Nya, bukan sebagai objek yang Dia timpakan kepada makhluk-Nya. (Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakana). Dengan demikian, mereka mengingkari perbuatan manusia dan kehendaknya.
Karena itulah mereka termasuk orang-orang yang paling banyak berdalih dengan takdir dari mereka sendiri. Hal ini dikarenakan mereka adalah orang-orang yang menganggap bahwa manusia tidak memiliki andil untuk melakukan perbuatannya, melainkan Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.

·         Inti Pemikiran Paham Jabbariyah
1.    Menisbatkan keburukan pada Allah & menjadikannya salah satu sifat-Nya.
2.    Menafikan kaidah pahala dan siksa.
3.    Menyamakan 2 hal yang saling bertentangan dan menganggapnya sebagai perbuatan yang diridhoi.
4.    Menganggap bahwa manusia dibebani sesuatu di luar kesanggupan mereka & perintah Allah hanya murni kehendak, tidak ada hikmah & rahmat-Nya.(3)
2.      QADARIYAH
·         Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan, baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Maka, dalam paham qadariyah manusia dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qada atau qadar Tuhan.

·         Inti Pemikiran Qadariyah
Inti pemikiran Qadariyah, menurut beberapa sumber, di antaranya:
a.       Manusia hidup mempunyai daya, selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.
b.      Menetapkan takdir pada manusia dan menganggap bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya. Sedangkan Tuhan hanya menciptakan tubuh manusia tanpa menciptakan perbuatan
c.       Mengingkari adanya perbuatan Allah, sifat-sifat, dan asma-asma-Nya dari hakikat tetapnya, juga mengingkari pengaruh dan penisbatannya kepada makhluk.

C.       ASAL-USUL PERTUMBUHAN JABBARIYAH DAN QADARIYAH
1.      JABBARIYAH
·         Latar Belakang Paham Jabbariyah
Adapun mengenai latar belakang lahirnya Jabariyah tidak adanya penjelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak (Tuhan). Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam dating ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Ditengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang sangat panas ternyata tidak dapat  memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon yang kuat untuk menghadapi  panasnya musim serta keringnya udara. Dan dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan alam, sehingga menyebabkan mereka kepada paham fatalisme.
Dalam Al-Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat yang menunjukkan latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
QS al-Insan : 30
Artinya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Selain ayat-ayat Al-Qur’an diatas, benih-benih faham al-jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah :

Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan terssebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan tentang Takdir.

Di samping adanya bibit pengaruh paham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri, ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran jabar muncul karena adanya pengaruh dari pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudibermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu : Pertama, factor internal (pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah), dan kedua, factor eksternal (pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini). Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah reaksi dari tiga perkara: pertama, adanyapaham Qadariyah, kedua, terlalu tekstualnya pemahaman agama tanpa adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.

·         Perkembangan Pendapat Jabbariyah
Paham Jabbariyah yang mulanya menganggap perbuatan maksiat sebagai ketaatan menjadi lebih nyeleneh dengan bersikap pesimis dan melakukan keburukan.

2.      QADARIYAH
·         Latar Belakang Paham Qadariyah
Ibnu Taimiyah mengemukakan sejarah timbul paham ini, Qadariyah muncul sebelum paham Jabariyah. Paham Qadariyah muncul pada periode terakhir sahabat, yaitu ketika timbul perdebatan tentang qadar/ketetapan Tuhan.
Menurut Ibnu Nabatah, seorang ahli penulis kitab ”Syahral ‘uyun” mengatakan bahwa orang yang mula-mula mengembangkan paham Qadariyah adalah seorang penduduk Irak. Pada mulanya, ia seorang Nasrani kemudian masuk Islam dan akhirnya menjadi Nasrani lagi. Dari orang inilah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqiy mengambil paham Qadariyah. Dapat dipahami bahwa pengaruh keyakinan masehi-an mempengaruhi munculnya aliran ini karena pada masa itu, kaum muslimin bersentuhan langsung dengan dengan penganut Agama Yahudi dan Nasrani.
Namun, Abu Zahrah lebih cenderung tidak merinci dan tidak memastikan asal, timbul dan berkembangnya paham Qadariyah. Abu Zahrah berkata; Para ahli sejarah pemikiran Islam mencoba meneliti dan mengkaji lebih jauh mengenai siapakah sebenarnya yang pertama kali mengajarkan paham ini, di daerah mana timbul dan berkembang. Pendapat kami, pemikiran yang dikemukakan dalam hal kelompok dan berkembangnya paham Qadariyah sangat sulit memastikan secara meyakinkan. Hanya saja pedoman umum yang dapat dijadikan pegangan adalah bahwa Basrah dan Iraklah tempat timbulnya dan berkembangnya paham Qadariyah.









BAB IV
KESIMPULAN

Pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah menyatakan bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak, dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang menjadi keputusan mereka, meskipun pada dasarnya merupakan takdir yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT.
Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah dan Qodariyah di atas, yang paling penting yang harus kita pahami adalah, bahwa mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasa akan berbahaya, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat.
Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.
Demikian makalah dari kami yang berjudul “Teologi Jabbariyah dan Qodariyah”, semoga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya, tidak terlepas kritik dan saran yang sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang.








DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdurrahman Ali bin As-Sayyid Al-Wahifi, Qadha dan Qadar dalam Pandangan Ulama Salaf, 2005, Pustaka Azzam: Jakarta.
Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, 2001, Pustaka Setia: Bandung.
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawwuf, 1995, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Nasution, Harun, Teologi Islam, 1996, UI Press: Jakarta.
Sarkowi, Teologi Islam Klasik, 2010, Penerbit Resist Literacy: Malang.



1 Sarkowi, Teologi Islam Klasik, Resist Literacy, Malang, cat I, 2010, hlm 63-64
2Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, Cet I, 2001, hlm 67-69
[3] Ali Abdurrahman Abu, Qadha’ dan Qadar Dalam Pandangan Ulama’ Salaf, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005, hlm 168-169

Tidak ada komentar: